Label

Selasa, 16 April 2013

Al-Azhar Gudang Wahaby (?)

Al-Azhar adalah menara keilmuan Islam dunia. Pendidikannya berpusat di jami’ (masjid) dan jami’ah (universitas) Al-Azhar. Kampus pusat dan masjid Al-Azhar terletak berdekatan, sehingga memudahkan para mahasiswa untuk menimba ilmu di sana. Pendidikan dimasjid Al-Azhar tidak bersifat formal; tidak perlu mendaftar, tidak ada administrasinya dan tidak mengeluarkan ijazah. Adapun pendidikan jami’ah adalah bersifat formal seperti universitas-universitas pada umumnya. Baik jami’ maupun jami’ah, Al-Azhar menganut faham Asy’ariy dan Maturidy dalam akidah,fikihnya bermadzhab dan juga bertashawwuf. Dengan kata lain, seorang mahasiswaAl-Azhar yang sejati haruslah berakidah Asy’ariy dan Maturidy, harus bermadzhab dan bertashawwuf.

Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa tidak semua, bahkan banyak, orang yang mengaku alumni Al-Azhar tapi tidak mengikuti jalur yang menjadi pijakan Al-Azhar. Banyak di antara mereka yang berfaham Salafy Wahaby, suka mengkafirkan kelompok lain, suka membid’ahkan orag lain dan sebagainya. Padahal mereka katanya belajar di Al-Azhar, berijazah Al-Azhar dan mendapat gelar dari Al-Azhar. Yang lebih memprihatikankan, ada banyak alumni Al-Azhar yang memakai pakaian seragam tertentu dan mengaku bahwa itulah seragam Al-Azhar. Sungguh kebohongan yang nyata.

Salafy Wahabi Di Mesir

Kelompok Salafy Wahabi di Mesir tergolong cukup banyak. Tahun 2011 mereka membuat onar dengan membongkar makam ulama di beberapa propinsi di Mesir. Dalam pemilu parlemen tahun 2012, partai An-nur yang merupakan sayap Salafy Wahaby Mesir mendulang suara cukup banyak,yaitu sekitar 24 %. Gerakan dakwah mereka berpusat di masjid-masjid, bukan di pendidikan formal.

Menurut Dr. Kamal al-‘anany (dosen fikih Syafi’i Al-Azhar Kairo), salah satu ciri dakwah Salafy Wahaby di Mesir adalah pengajian-pengajian di masjid yang menekankan pengajaran akidah tapi menyampingkan fikih; yang dibahas adalah Islam-kafir, sunnah-bid’ah dan sejenisnya.

Di Kairo, adzan sholat lima waktu dikumandangkan melalui stasiun radio, bukan oleh suara asli muadzin. Adzan di setiap masjid dilakukan dengan serempak dengan satu suara. Hal ini adalah kebijakan dari kementrian Wakaf Mesir untuk merapikan sistem waktu adzan sholat lima waktu. Meskipun demikian, ada masjid-masjid tertentu yang tidak mengikuti adzan secara kolektif itu, melainkan dengan suara muadzinnya sendiri. Menurut pengamatan penulis, masjid-masjid yang adzan sendiri itulah sebagian yang menjadi basis dakwah Salafy Wahaby.

Mahasiswa Indonesia Jauh dari Masjid Al-Azhar
Secara kasat mata, mahasiswa asing yang mengisi masjid Al-Azhar adalah mereka yang berasal dari Malaysia. Tidak terlalu banyak wajah-wajah Indonesia yang mengikuti pengajian di sana. Selain memang mahasiswa Malaysia lebih banyak dibanding mahasiswa Indonesia, faktor ekonomi juga menjadi penyebabnya. Kebanyakan mahasiswa asal Indonesia tinggal di Kota Nasr, Kairo Timur, yang sewa kosnya relatif lebih murah, sedangkan letak masjidAl-Azhar berada di kota Darrasah, Kairo tengah. Jarak yang lumayan jauh dan memerlukan biaya membuat mahasiswa asal Indonesia punya alasan untuk tidak mengaji di masjid Al-Azhar. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Salafy Wahaby untuk mengembangkan dakwahnya. Jadilah sebagian mahasiswa Indonesia mengaji di masjid Salafy Wahaby, bukan di masjid Al-Azhar. Pada awalnya mereka mengaji tajwid dan hafalan Al-Qur’an,tetapi kemudian pengajian dilanjutkan ke masalah akidah.

Selain itu, dengan berbagai pertimbangan tentunya, Al-Azhar tidak mewajibkan mahasiswanya untuk mengikuti kuliah. Datang ke kampus hanya untuk membayar daftar ulang dan mengikuti ujian adalah pemandangan yang biasa di kuliah Al-Azhar. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh Salafy Wahaby untuk menyeret mahasiswa Al-Azhar keluar dari rel aturanAl-Azhar. Mereka mengadakan kegiatan pengajian sendiri secara underground. Bahkan sebagian mahasiswa asal Indonesia ada yang membentuk kelompok belajar sendiri, diskusi sendiri, kajian sendiri, dan tidak pernah belajar di Al-Azhar.

Buku-buku Salafy Wahaby sangat mudah didapatkan dengan harga yang murah. Bagi para mahasiswa pemula yang belum kokoh akidahnya, buku-buku tersebut sangatlah mungkin menyesatkan dirinya.

Kesimpulan

Dr. Kamal Al-‘anany mengatakan bahwa Al-Azhar menerima mahasiswa dari golongan manapun, tidak pandang bulu. DiAl-Azhar mereka akan dididik supaya bisa memahami Islam secara kaffah dan tidakekstrim serta suka menyalahkan orang lain. Jika dengan benar mengikutipengajian Al-Azhar, insya Allah para mahasiswa akan mampu bersikap moderat dantidak picik.

Menurut pengamatan penulis, lingkungan yang telah ‘diracuni’ Salafy Wahaby telah membelokkan mahasiswa Al-Azhar menjadi tidak moderat lagi, dan tersesat ke dalam faham-faham radikal. Khususnya mahasiswa Indonesia, seolah sedang ada proyek besar yang akan mencitrakan bahwaalumni Al-Azhar adalah Salafy Wahaby dan Al-Azhar adan gudang Salafy Wahaby.

Mungkin, mereka sudah mengikuti Salafy Wahaby sejak dari Indonesia, dan di Al-Azhar tidak pernah kuliah dan mengaji sehingga tetap Salafy Wahaby, mungkin juga tadinya Sunny tapi di Mesir bertemu dengan temannya yang Salafy Wahaby dan terseret ke dalam faham mereka.

Bagi kawan-kawan yang hendak belajar ke Mesir mohon berhati-hati dan kuatkan dulu akidahnya supaya nanti tidak terseret ke arus yang berbahaya. Bagi yang sudah berada di Mesir, mari kita kuatkan akidah kita dan dekatkan sedekat-dekatnya diri kita dengan Al-Azhar dan ulamanya.

Wallohu a’lam