
Judul : Kairo Undercover
Penulis :
Ahmad Hujaj Nurrohim
Penerbit : Diva
Press, Jogjakarta
Tebal :
208 halaman
Mesir adalah negara yang beruntung karena memiliki
universitas Al-Azhar. Sejak pertengahan abad ke-19 pelajar dari Nusantara berbondong-bondong
datang untuk menimba ilmu di negeri Fir’aun itu. Mesir juga memiliki sejumlah
obyek wisata bertaraf international, seperti Piramida, patung Sphinx, kuil
Luxor dan lain sebagainya.
Hujaj adalah seorang mahasiswa Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang kebetulan
menjadi penjual tempe untuk membiayai hidupnya. Dari berjualan tempe, dia jadi
tahu kehidupan Mesir yang sebenarnya, mulai dari keadaan alam, tabiat orang
pribumi, para pejabat KBRI, kehidupan para mahasiswa sampai komunitas TKW
ilegal yang bekerja di sana.
Selain menjual tempe secara door to door, Hujaj juga
memasarkannya secara online. Jejaring Facebook adalah media yang dia gunakan.
Tempe yang dia jual diberi merek “Tempe Alif Tub Ramly”, dan statusnya update
setiap hari. Bukan sekedar iklan, status yang di-update adalah refleksi
dari apa yang Hujaj lihat di sekelilingnya. Buku ini adalah kumpulan status
Facebook “Tempe Alif Tub Ramly” selama dua tahun yang telah ditata rapi.
Dalam buku ini penulis bercerita bahwa Al-Azhar adalah
lembaga pendidikan yang luar biasa agungnya; kuliah gratis, dapat beasiswa bagi
yang beruntung, dosen-dosennya sangat alim, dan buku-buku diktatnya murah
meriah. Pengajian di masjid Al-Azhar dilaksanakan setiap hari mulai pagi sampai
malam, dan semua cabang ilmu agama bisa dipelajari di sana dengan gratis.
Namun, Al-Azhar bukanlah universitas yang mewah; bangunannya kuno, fasilitasnya
kurang memadai, dan yang unik adalah bahwa ruang kuliahnya sangat kecil. Jika
terlambat sedikit saja, maka seorang mahasiswa bisa tidak kebagian bangku dan harus
lesehan di lantai, bahkan jika terpaksa harus berdiri di luar pintu.
Dengan berbagai pertimbangan, pihak kampus tidak
memberlakukan absen. Mahasiswa Al-Azhar bebas beraktifitas; mengaji kepada
syaikh manapun, berorganisasi, sampai kegiatan olah raga dan seni. Maka tidak
heran jika mahasiswa Al-Azhar dari Indonesia banyak yang berprestasi di segala
bidang, karena memang mereka diberi kebebasan penuh untuk berkreasi. Namun efek
sampingnya, terdapat juga mahasiswa yang bermalas-malasan dan menginjakkan kaki
di kampus saat ujian semester saja.
Di sisi lain, penulis mencoba menggambarkan bahwa kuliah di
Kairo tidak seindah yang dibayangkan. Beasiswa tidak mesti didapat, alam Kairo
yang ekstrim, lalu lintas yang hampir tidak punya aturan, ulah sebagian orang
pribumi yang kurang ramah, ditambah krisis ekonomi dan politik yang belum
stabil membuat mahasiswa di Kairo tidak nyaman.
Perjalanan penulis keliling Kairo setiap hari dalam rangka
menjual tempe mengisahkan tentang romantika kehidupan di sana. Gadis-gadis
Mesir terlihat cantik luar biasa, namun menikah bagi pria Mesir sangatlah berat
karena harus mengeluarkan biaya besar. Beberapa mahasiswa asal Indonesia ada
yang menjalin cinta dengan mahasiswi (secara wajar), dan sebagian dari mereka membangun
rumah tangga di sana.
Di beberapa judul penulis memperlihatkan kecakapannya dalam
menarik simpati pelanggan dengan statusnya yang unik dan lucu. Pelanggan yang
membaca statusnya akan tertarik dan membeli tempenya. Seringkali penulis juga
memberikan motivasi kepada sahabatnya sesama mahasiswa dan para TKW untuk bisa
berbuat baik demi masa depan mereka.
Kelebihan buku ini adalah bahwa apa yang tertulis hampir
semuanya nyata. Jadi, pembaca yang suatu saat berkunjung ke Kairo dalam rangka traveling
atau kuliah tidak akan kaget melihat kenyataan di sana. Ini tentu berbeda
dengan buku-buku lain yang menuliskan kisah tentang Kairo secara fiksi. Hal
lain yang menjadi kelebihan buku ini adalah keunikan status-statusnya; bahwa
status Facebook yang dikumpulkan selama dua tahun, satu kali pun tidak pernah
sama, walaupun ujung-ujungnya iklan.
Namun, di sisi kekurangan pada buku ini, penulis selalu
menuliskan kalimat yang sama di akhir setiap iklannya, yaitu kalimat “Selalu
Ada Setiap Harinya, Jempoll..!!”. ini tentu bisa membuat pembaca bosan,
meskipun jika kalimat itu dibuang statusnya menjadi kurang menarik.
Dari sekian banyak status yang dituangkan dalam buku ini,
bisa disimpulkan bahwa penulis berharap kepada siapapun yang akan menimba ilmu
di Kairo supaya memperbaiki niat; niat yang suci murni menuntut ilmu di bumi
para Nabi, bukan jalan-jalan saja atau mencari kepentingan lain. Penulis juga
tidak bermaksud mengungkap sisi negatif Kairo, namun hanya berusaha mengatakan
apa yang sebenarnya ada, supaya cerita tentang Kairo tidak lebih indah dari
kenyataannya.