Label

Rabu, 27 Februari 2013

Masisir Punya Istilah


Bagi sebagian masyarakat Indonesia, Mesir adalah negeri impian. Mesir dengan segala yang dimilikinya; Al-Azhar, piramid, spinx, dan warisan leluhur lain, menarik simpati untuk didatangi dan dinikmati. WNI di Mesir begitu banyaknya, sampai ada yang mengatakan bahwa Mesir, khususnya Kairo adalah ‘propinsi jauh’ wilayah NKRI. Warga Indonesia di Mesir yang sebagian besar adalah pelajar itu, begitu menyatu dengan masyarakat lokal, dan menyebut dirinya sebagai Masisir. Mereka telah ‘berani’ membuat istilah-istilah sendiri, dan bahkan ‘membagi’ wilayah Kairo dengan apa yang mereka pahami. Ini unik, karena istilah-istilah tersebut hanya bisa dipahami oleh sesama masisir, dan tentu, oleh sebagian warga Mesir yang memang sudah ‘gaul’ dengan mereka. Karenanya, tidak heran jika sebagian besar penduduk lokal kurang ‘mudeng’ dengan istilah yang dipakai masisir.

Sebelum masuk bangku kuliah, mahasiswa baru dari luar Mesir (wafidin) harus mengikuti test masuk kuliah, yang disebut imtihan al-qobul. Jika lulus, mereka bisa langsung kuliah. Tapi jika tidak lulus, mereka  harus mengikuti program belajar bahasa Arab di Kulliyah Al-Ulum Al-Islamiyah selama setahun. Namun, masisir menyebutnya dengan Daurah Lughoh atau Dar Al-Lughoh. Pantas saja kalau masisir mengatakan ‘dar al-lughoh’ kepada pengajar al-Azhar, mereka akan ditanya, “darul lughoh fein” (darul lughoh dimana?)

Setelah setahun mengikuti kuliah, para mahasiswa mendapatkan natijah (hasil imtihan). Ada istilah najah(lulus), dan ada istilah rasib (tidak lulus lebih dari dua mapel). Kalau tidak lulus satu mapel disebut manqul bimaddah, yang oleh masisir disebut manqul saja . Tidak lulus dua mapel disebut manqul bi maddatain,yang oleh masisir disebut manqulain.

Di Mesir, rumah penduduk sama sekali berbeda dengan rumah di Indonesia. Bangunannya berbentuk kubus (kotak), yang kebanyakan terdiri dari lima lantai. Satu bangunan, dari lantai dasar sampai atap, disebutimarah. Di setiap lantai ada beberapa rumah, yang oleh orang Mesir disebut sa’ah. Menurut orang Indonesia, sa’ah yang berada di lantai dasar disebut rumah ardiyah. Padahal, orang Mesir menyebutnya dengan darul ardlSa’ah paling atas oleh orang Indonesia disebut suthuh. Padahal orang mesir menyebutnya dengan daurah khomisah (lantai ke-lima). Suthuh menurut orang Mesir adalah atapnya, bukansa’ahnya.

Kebanyakan masisir tinggal di Hay Asyir (distrik 10), Nasr City, Kairo. Maka tidak heran, di sana banyak dijumpai warung makan Indonesia, juga toko-toko Mesir dengan tulisan tiga bahasa di pintu masuknya; maftuh, buka, open. Di salah satu sudut Hay Asyir terdapat sebuah masjid jami'/gami’, yaitu masjidAssalam, yang terletak di jalur utama Hay Sabi’- Hay Asyir. Setelah masjid, ada gate-gate/gang, yang disebut bawabah. Ada bawabah ulabawabah tsaniah, dan bawabah tsalitsahBawabah ini berakhir di suq sayarat (pasar mobil). Yang disebut bawabah oleh orang Mesir adalah bagian depannya saja. Adapun keseluruhan wilayah bawabah sampai ke belakang, yang berbatasan dengan mantiqoh al-Tub al-ramly, disebut mantiqoh Swessry A. Namun oleh masisir wilayah Swessry A disebut dengan daerah Bawabahsaja.

Setelah suq sayarat ada sebuah halte yang disebut mahattah gamik. Tidak jauh dari mahattah gamik ada pertigaan yang disebut mutsallatsts. Wilayah yang membentang dari mahattah gamik sampai mutsallatstshingga ke belakang, yang berbatasan dengan mantiqoh Saqor Quraisy oleh orang Mesir disebut Swessry B. Namun, oleh masisir disebut dengan Gamik saja.

Ada lagi yang unik. Di Gamik belakang (istilah orang Indonesia) terdapat sebuah toko yang dijaga oleh seorang ibu dan dua orang putrinya, yang tentunya cantik-cantik. Toko tersebut memang berbeda dari yang lain, buka paling akhir dan tutup paling akhir pula. Entah kenapa, dan masih dicari penyebabnya, toko tersebut oleh sebagian masisir dikenal sebagai ‘warunge mbok rondo’.

Itulah orang Indonesia, selalu kreatif di setiap tempat. Ditunggu cerita dari warga Indonesia di tempat lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar