Seorang pengamat Masisir (Masyarakat Indonesia di Mesir) mengatakan, jumlah mat'am atau warung makan Indonesia di Kairo kurang lebih berjumlah 40 warung. Jumlah itu pasang surut, satu warung lesu, sepuluh yang lain tumbuh baru. Hanya ada beberapa yang eksis dan bertahan melayani selera warga Indonesia di Kairo.
saja, atau mungkin sampai genap setahun. Maklum, makanan nusantara di Kairo terasa sangat istimewa. Ketika ada warung baru berdiri, sontak saja WNI di Kairo yang kebanyakan adalah mahasiswa pas-pasan berduyun-duyun untuk sekedar mencicipi diskon dan menu yang tersedia. Jika rasa dah harganya pas di lidah dan di saku, pelanggan akan istiqomah dan setia kepada warung-warung itu. Namun jika dirasa ada yang kurang, ya jelas saja mereka akan mencari warung lain. Satu lesu, sepuluh tumbuh baru, begitu seterusnya menghiasi roda ekonomi Masisir.
Setiap tahunnya, ratusan sarjana lulusan Al-Azhar pulang kampung dan turun gunung ke tanah air. Sambutan masyarakat di sana biasanya gegap gempita, menyambut sang penyandang gelar keagamaan dari universitas tertua di dunia. Kontan saja, mereka, para lulusan Azhar itu diundang ke berbagai acara; seminar keagamaan, pengajian umum, doa bersama, atau sekedar obrolan santai kelompok-kelompok kecil di langgar-langgar doyong. Masyarakat tentu ingin mencicipi resep ilmu baru dari sarjana-sarjana itu, jika mumpuni dan kontekstual ya dilanjutkan, tapi kalau cetek atau terlalu baru dan bahkan aneh, ya mereka mencari dai-dai yang lain saja. Toh yang berilmu bukan dari Mesir saja. Masyarakat kita sudah lebih cerdas dalam memilih apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Bagaimana dengan warung makan kita, dan kwalitas sarjana kita? semoga bukan sekedar lahan cicipan dan jajalan saja.
Setiap tahunnya, ratusan sarjana lulusan Al-Azhar pulang kampung dan turun gunung ke tanah air. Sambutan masyarakat di sana biasanya gegap gempita, menyambut sang penyandang gelar keagamaan dari universitas tertua di dunia. Kontan saja, mereka, para lulusan Azhar itu diundang ke berbagai acara; seminar keagamaan, pengajian umum, doa bersama, atau sekedar obrolan santai kelompok-kelompok kecil di langgar-langgar doyong. Masyarakat tentu ingin mencicipi resep ilmu baru dari sarjana-sarjana itu, jika mumpuni dan kontekstual ya dilanjutkan, tapi kalau cetek atau terlalu baru dan bahkan aneh, ya mereka mencari dai-dai yang lain saja. Toh yang berilmu bukan dari Mesir saja. Masyarakat kita sudah lebih cerdas dalam memilih apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Bagaimana dengan warung makan kita, dan kwalitas sarjana kita? semoga bukan sekedar lahan cicipan dan jajalan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar