Mahmud
masih saja tak mau bangun dari ranjangnya yang kusam. Kepalanya dibenamkan dalam-dalam
dibantal yang entah berapa bulan lamanya tidak dicuci. Tak perduli, walau sinar
matahari telah menerobos jendela kamar dan menyilaukan matanya, dia tetap betah
berbaring di kamarnya yang penuh kepinding itu. Lampu kamar sengaja dimatikan
supaya Mahmud tidur lebih tenang. Jam weeker yang telah rusak seminggu lalu
juga sengaja tak diperbaikinya. Jum’at pukul sebelas siang. Mahmud tak perduli.
Puasa
kali ini memaksa Mahmud untuk benar-benar malas. Malas apa saja. Kecuali tidur
tentunya, karena tidur adalah alat pelampiasan rasa malas yang paling mujarab. Andai
saja puasa Ramadhan tidak wajib, pastinya dia sudah membatalkannya jauh-jauh
hari.
Bagaimana
tidak malas, ibadah hanya menjadi tradisi yang dijunjung tinggi. Kosong tanpa
isi. Syiar agama terdengar begitu menggelegar tapi maksiat tetap menampar. Agama seolah
bikin berisik. Ceramah para ustadz tak lagi menarik. Selera ke masjid hilang ditotol
pitik.
Mahmud
akhirnya membuka matanya, karena tidurnya sudah terlalu over. Kalau bukan hari
Jumat, pasti dia masih ndengkur sampai hampir Ashar. Dalam keadaan super
malas itu, tangannya menggapai mouse dan digerak-gerakannya, komputernya pun
nyala. Dibukanya jejaring Facebook, barangkali ada pesan penting.
“Nak,
apa kabar kamu di situ? Hati-hati ya, jaga diri baik-baik”, sebuah pesan dari
ibunya di tanah air. Ya. Ibunya begitu perhatian sehingga pertanyaan itu selalu
di ulang-ulang setiap harinya. Membosankan. Biasanya sih tidak setiap hari
ibunya Mahmud kirim pesan di Facebook. Barangkali karena imbas informasi, ibunya Mahmud khawatir
akan keselamatannya. Mungkin ibunya nonton televisi tentang demonstrasi yang
digelar di sekitar rumah kosnya.
“Mahmud
baik-baik saja, Bu. Alhamdulillah.”
“Mas,
katanya di situ sedang terjadi kegaduhan politik, ya?” pesan kedua datang dari
Bahrul, temannya yang sekarang kuliah di ibu kota. Mahmud enggan menjawabnya
langsung, namun pelan-pelan dia membuka jendela baru di halaman internetnya.
Satu, dua, tiga, bahkan empat halaman dibukanya sekaligus; fans page Facebook,
Twitter, portal berita, koran online dan beberapa lainnya. Mahmud dengan
malasnya membaca semuanya, kata perkata.
“Dor,
dor, dor..!” terdengar letusan lumayan keras. Sumbernya kira-kira 200 meter arah
kanan rumah kos Mahmud. Entah suara apa itu. Entah letusan pelor atau mercon
biasa. Suara-suara letusan memang sudah tidak asing, sudah biasa, tidak
mengagetkan lagi. Maklumlah, sudah sekitar seminggu, tanah kosong yang tak jauh
dari rumah kos Mahmud menjadi tempat
kumpul sekolompok orang. Sepertinya mereka meneriakkan yel-yel mendukung
seseorang, mungkin seorang tokoh politik. Seringkali karena tempatnya terlalu
sempit, kerumunan orang-orang itu melebar ke jalan raya, sehingga lalu lintas
pun terganggu begitu rupa. Ditambah suara letusan yang bising itu; bikin pusing
kepala dan menambah malas saja.
“Mahmud,
bisakah kamu menulis tentang keadaan di sekelilingmu saat ini? Aku butuh
tulisanmu untuk dimuat di majalah lokal, besok.” Ada pesan lagi, dari Pak
Waryo, guru Bahasa Indonesia yang dulu mengajar Mahmud di SMA. Mahmud terlihat
kesal membaca pesan itu. Mungkin karena malasnya mengorek berita dari dunia
maya.
****
“Ooaaah…”
Mahmud kembali menguap, padahal dia sudah tidur tujuh jam. Ngantuk dan malas. Meskipun
adzan Jum’at sudah berkumandang tapi
semangat ibadah tak kunjung datang. Bagaimana mau semangat, masjid di samping
rumah kosnya, kalau khutbah terlalu lama, apalagi tema-temanya, politik kotor
semua. Khutbah bukan lagi menjadi media untuk menggugah jiwa supaya taat, tapi
untuk mendoktrin agama dengan jalan sesat. Doa-doanya penuh dilema, atau malah
simalakama. Ke kanan salah, ke kiri juga salah. Bagaimana tidak, doa-doa yang
seharusnya mengayomi seluruh ummat, eh, malah didominasi oleh segelintir
kepentingan pejabat.
Lima
menit lagi iqomat. Mahmud bergegas mengalahkan rasa malasnya. Cepat-cepat dia
ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan berwudhu. Berangkatlah dia sholat
Jum’at. Jarak masjid yang lumayan jauh, sekitar 300 meter sebelah kiri rumah
kos memaksa Mahmud untuk ketinggalan satu rakaat. Ukuran masjid yang kurang
luas juga memaksanya menggelar koran untuk shalat di halaman. Setelah imam
mengucapkan salam dan Mahmud melanjutkan satu rakaat lagi, dia langsung pulang.
Dia tak perduli dengan bacaan-bacaan afdol setelah shalat atau wirid-wirid
tarekat. Seperti orang melompat dan jalan cepat, Mahmud langsung pulang, demi
menghindari ceramah-ceramah tambahan yang membosankan. Ya, membosankan itu-itu
saja pokok pembahasannya, tentang politik dan segala macam atribut kotornya.
Bingung.
Mahmud kembali mengutak-atik komputernya yang tua; tua seperti dirinya.
Dicarinya berita yang sekiranya bisa dipercaya, barangkali bisa untuk menjawab
pesan Bahrul dan Pak Waryo. Tapi semakin dicari, ternyata semakin sulit
ditemui. Sepertinya susah sekali mencari media yang bisa dibuat rujukan, karena
sudah jelas tidak ada yang tidak berkepentingan. Yang satu bilang merah yang
satu lagi bilang kuning, padahal warna aslinya biru. Aneh. Gambar-gambar yang
menghiasi laman-laman itu pun layak dipertanyakan. Dua media memuat satu foto
yang sama, tapi dengan berita yang berbeda. Aneh. Mahmud kemudian mencoba
mencari video-video unggahan, barangkali bisa dijadikan bahan rujukan. Namun
lagi-lagi dia harus putus asa karena di sana-sini banyak video editan.
Pikirannya langsung ke film-film Hollywood yang super keren seolah tanpa sensor
itu, padahal efek dan animasinya jelas-jelas berlebihan. Bagaimana mungkin bisa
mempercayai sebuah video, jika dua video dengan gambar sama tapi tahun diunggah dan beritanya berbeda?
Ah, dunia maya memang sedemikan rupa sehingga kebenaran entah kemana.
“Oh,
ya, yes..!!” Mahmud bergumam agak keras, sepertinya dia menemukan sesuatu.
Sambil berjalan gontai dia menuju ruang tamu dan mencari remote control.
Apalagi kalau tidak menyalakan televisi. Barangkali bisa memberikan titik
terang untuk menjawab pesan Bahrul dan pak Waryo. Televisi yang kebetulan
tersambung ke parabola itu memang sungguh banyak channelnya, dari yang
berbahasa Arab, Perancis, Inggeris sampai berbahasa China. Satu persatu channel
dipilih. Dipilihnya tiga channel yang kebetulan menurunkan berita sama, yakni
tentang gejolak politik di sekitar rumah kosnya. Channel pertama sedang
wawancara dengan seorang tokoh, dari pakaiannya, sang narasumber mungkin tokoh
agama. Tapi ya tidak tahu, kan bisa saja beli pakaian yang beratribut agama
walaupun di dadanya entah isinya apa. Channel kedua reportase, dan channel
ketiga siaran langsung.
“Ini
baru jos..!” kata Mahmud berkata kepada dirinya sendiri. Namun setelah
dipikir-pikir lagi, Mahmud kebali diserang keraguannya. Dia ragu antara percaya
dan tidak. Banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab sebelum menganggap apa
yang dia tonton adalah berita yang valid dan benar. Siapa yang menjamin
narasumber pada channel pertama tidak disogok oleh kepentingan golongan? Apakah
reportase yang ditayangkan oleh channel kedua benar valid dan tidak menipu?
Apakah siarang langsung yang ditayangkan channel ketiga benar-benar siaran
langsung, bukan siaran ulang yang dikatakan sebagai siaran langsung. Ah,
benar-benar membingungkan, karena memang dunia tidak selebar halaman media atau
kaca lensa kamera.
“Aku tidak tahu, sungguh aku tidak tahu!” Mahmud
membalas pesan Bahrul dan Pak Waryo. Singkat saja, dan Mahmud memang tak mau
sok tahu.