Label

Kamis, 22 Agustus 2013

Aku Tidak Tahu! (cerpen)



Mahmud masih saja tak mau bangun dari ranjangnya yang kusam. Kepalanya dibenamkan dalam-dalam dibantal yang entah berapa bulan lamanya tidak dicuci. Tak perduli, walau sinar matahari telah menerobos jendela kamar dan menyilaukan matanya, dia tetap betah berbaring di kamarnya yang penuh kepinding itu. Lampu kamar sengaja dimatikan supaya Mahmud tidur lebih tenang. Jam weeker yang telah rusak seminggu lalu juga sengaja tak diperbaikinya. Jum’at pukul sebelas siang. Mahmud tak perduli.

Puasa kali ini memaksa Mahmud untuk benar-benar malas. Malas apa saja. Kecuali tidur tentunya, karena tidur adalah alat pelampiasan rasa malas yang paling mujarab. Andai saja puasa Ramadhan tidak wajib, pastinya dia sudah membatalkannya jauh-jauh hari. 

Bagaimana tidak malas, ibadah hanya menjadi tradisi yang dijunjung tinggi. Kosong tanpa isi. Syiar agama terdengar begitu menggelegar  tapi maksiat tetap menampar. Agama seolah bikin berisik. Ceramah para ustadz tak lagi menarik. Selera ke masjid hilang ditotol pitik

Mahmud akhirnya membuka matanya, karena tidurnya sudah terlalu over. Kalau bukan hari Jumat, pasti dia masih ndengkur sampai hampir Ashar. Dalam keadaan super malas itu, tangannya menggapai mouse dan digerak-gerakannya, komputernya pun nyala. Dibukanya jejaring Facebook, barangkali ada pesan penting.
“Nak, apa kabar kamu di situ? Hati-hati ya, jaga diri baik-baik”, sebuah pesan dari ibunya di tanah air. Ya. Ibunya begitu perhatian sehingga pertanyaan itu selalu di ulang-ulang setiap harinya. Membosankan. Biasanya sih tidak setiap hari ibunya Mahmud kirim pesan di Facebook. Barangkali  karena imbas informasi, ibunya Mahmud khawatir akan keselamatannya. Mungkin ibunya nonton televisi tentang demonstrasi yang digelar di sekitar rumah kosnya.

“Mahmud baik-baik saja, Bu. Alhamdulillah.”

“Mas, katanya di situ sedang terjadi kegaduhan politik, ya?” pesan kedua datang dari Bahrul, temannya yang sekarang kuliah di ibu kota. Mahmud enggan menjawabnya langsung, namun pelan-pelan dia membuka jendela baru di halaman internetnya. Satu, dua, tiga, bahkan empat halaman dibukanya sekaligus; fans page Facebook, Twitter, portal berita, koran online dan beberapa lainnya. Mahmud dengan malasnya membaca semuanya, kata perkata.

“Dor, dor, dor..!” terdengar letusan lumayan keras. Sumbernya kira-kira 200 meter arah kanan rumah kos Mahmud. Entah suara apa itu. Entah letusan pelor atau mercon biasa. Suara-suara letusan memang sudah tidak asing, sudah biasa, tidak mengagetkan lagi. Maklumlah, sudah sekitar seminggu, tanah kosong yang tak jauh dari rumah  kos Mahmud menjadi tempat kumpul sekolompok orang. Sepertinya mereka meneriakkan yel-yel mendukung seseorang, mungkin seorang tokoh politik. Seringkali karena tempatnya terlalu sempit, kerumunan orang-orang itu melebar ke jalan raya, sehingga lalu lintas pun terganggu begitu rupa. Ditambah suara letusan yang bising itu; bikin pusing kepala dan menambah malas saja.
“Mahmud, bisakah kamu menulis tentang keadaan di sekelilingmu saat ini? Aku butuh tulisanmu untuk dimuat di majalah lokal, besok.” Ada pesan lagi, dari Pak Waryo, guru Bahasa Indonesia yang dulu mengajar Mahmud di SMA. Mahmud terlihat kesal membaca pesan itu. Mungkin karena malasnya mengorek berita dari dunia maya.
****
“Ooaaah…” Mahmud kembali menguap, padahal dia sudah tidur tujuh jam. Ngantuk dan malas. Meskipun  adzan Jum’at sudah berkumandang tapi semangat ibadah tak kunjung datang. Bagaimana mau semangat, masjid di samping rumah kosnya, kalau khutbah terlalu lama, apalagi tema-temanya, politik kotor semua. Khutbah bukan lagi menjadi media untuk menggugah jiwa supaya taat, tapi untuk mendoktrin agama dengan jalan sesat. Doa-doanya penuh dilema, atau malah simalakama. Ke kanan salah, ke kiri juga salah. Bagaimana tidak, doa-doa yang seharusnya mengayomi seluruh ummat, eh, malah didominasi oleh segelintir kepentingan pejabat.

Lima menit lagi iqomat. Mahmud bergegas mengalahkan rasa malasnya. Cepat-cepat dia ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan berwudhu. Berangkatlah dia sholat Jum’at. Jarak masjid yang lumayan jauh, sekitar 300 meter sebelah kiri rumah kos memaksa Mahmud untuk ketinggalan satu rakaat. Ukuran masjid yang kurang luas juga memaksanya menggelar koran untuk shalat di halaman. Setelah imam mengucapkan salam dan Mahmud melanjutkan satu rakaat lagi, dia langsung pulang. Dia tak perduli dengan bacaan-bacaan afdol setelah shalat atau wirid-wirid tarekat. Seperti orang melompat dan jalan cepat, Mahmud langsung pulang, demi menghindari ceramah-ceramah tambahan yang membosankan. Ya, membosankan itu-itu saja pokok pembahasannya, tentang politik dan segala macam atribut kotornya.

Bingung. Mahmud kembali mengutak-atik komputernya yang tua; tua seperti dirinya. Dicarinya berita yang sekiranya bisa dipercaya, barangkali bisa untuk menjawab pesan Bahrul dan Pak Waryo. Tapi semakin dicari, ternyata semakin sulit ditemui. Sepertinya susah sekali mencari media yang bisa dibuat rujukan, karena sudah jelas tidak ada yang tidak berkepentingan. Yang satu bilang merah yang satu lagi bilang kuning, padahal warna aslinya biru. Aneh. Gambar-gambar yang menghiasi laman-laman itu pun layak dipertanyakan. Dua media memuat satu foto yang sama, tapi dengan berita yang berbeda. Aneh. Mahmud kemudian mencoba mencari video-video unggahan, barangkali bisa dijadikan bahan rujukan. Namun lagi-lagi dia harus putus asa karena di sana-sini banyak video editan. Pikirannya langsung ke film-film Hollywood yang super keren seolah tanpa sensor itu, padahal efek dan animasinya jelas-jelas berlebihan. Bagaimana mungkin bisa mempercayai sebuah video, jika dua video dengan gambar  sama tapi tahun diunggah dan beritanya berbeda? Ah, dunia maya memang sedemikan rupa sehingga kebenaran entah kemana.

“Oh, ya, yes..!!” Mahmud bergumam agak keras, sepertinya dia menemukan sesuatu. Sambil berjalan gontai dia menuju ruang tamu dan mencari remote control. Apalagi kalau tidak menyalakan televisi. Barangkali bisa memberikan titik terang untuk menjawab pesan Bahrul dan pak Waryo. Televisi yang kebetulan tersambung ke parabola itu memang sungguh banyak channelnya, dari yang berbahasa Arab, Perancis, Inggeris sampai berbahasa China. Satu persatu channel dipilih. Dipilihnya tiga channel yang kebetulan menurunkan berita sama, yakni tentang gejolak politik di sekitar rumah kosnya. Channel pertama sedang wawancara dengan seorang tokoh, dari pakaiannya, sang narasumber mungkin tokoh agama. Tapi ya tidak tahu, kan bisa saja beli pakaian yang beratribut agama walaupun di dadanya entah isinya apa. Channel kedua reportase, dan channel ketiga siaran langsung. 

“Ini baru jos..!” kata Mahmud berkata kepada dirinya sendiri. Namun setelah dipikir-pikir lagi, Mahmud kebali diserang keraguannya. Dia ragu antara percaya dan tidak. Banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab sebelum menganggap apa yang dia tonton adalah berita yang valid dan benar. Siapa yang menjamin narasumber pada channel pertama tidak disogok oleh kepentingan golongan? Apakah reportase yang ditayangkan oleh channel kedua benar valid dan tidak menipu? Apakah siarang langsung yang ditayangkan channel ketiga benar-benar siaran langsung, bukan siaran ulang yang dikatakan sebagai siaran langsung. Ah, benar-benar membingungkan, karena memang dunia tidak selebar halaman media atau kaca lensa kamera.

 “Aku tidak tahu, sungguh aku tidak tahu!” Mahmud membalas pesan Bahrul dan Pak Waryo. Singkat saja, dan Mahmud memang tak mau sok tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar