Label

Rabu, 27 Februari 2013

TUB ROMLY, anti macet


"Ini penduduk Tub Romly sekarang? luar biasa" kata seorang warga Mesir di bus 926.

Ada tiga negara ASEAN yang warganya banyak belajar di Al-Azhar, yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand. Kebetulan saja, masing-masing dari mereka mendominasi sebuah wilayah di pinggiran kota Kairo. Pelajar Malaysia 'menguasai' distrik 7, warga Indonesia banyak tinggal di distrik 10, dan orang-orang Thailand kebanyakan berada di daerah Zahro Ain Syams dan Alfa Maskan. 

Untuk menuju kampus Al-Azhar, rata-rata pelajar Indonesia yang tinggal di distrik 10 menggunakan jasa bus bernomor 80 jurusan Zahro-Darrasah atau bus 65 jurusan Zahra-Sayyidah Aisyah. Saking banyaknya yang berangkat ke kampus, bus-bus itu selalu penuh sesak dan menambah kesempatan para pencopet. Selain menunggu bus yang lumayan lama, bus 80 dan 65 melewati jalur macet. Dari terminal Zahra Madinat Nasr, bus 80 melewati terminal distrik 10 yang selalu macet. Kemudian melaju ke pasar mobil (Suq Sayyarot) yang kalau hari Ahad dan Jumat hampir-hampir mobil tak bisa bergerak karena sangat macet. Setelah itu bus 80 belok kanan menuju distrik 8 dan melewati jalur termacet di Kairo Timur, yaitu jalan Mostafa El-Nahas. Barulah ketika melewati kampus putri Al-Azhar, bus 80 bisa melaju dengan sedikit cepat. 

Adapun bus bernomor 65, setelah melewati terminal distrik 10 dan pasar mobil, bus ini lurus menuju distrik 7, dan menemui jalur macet di depat kantor Enpi. Dari perempatan distrik 7, bus 65 menuju perempatan masjid Nury El-Khattab dan berjalan lurus ke daerah Rab'ah El-Adawiyah, yang merupakan saingan jalan Mostafa El-Nahas dalam hal macet. Baru setelah sampai di jalan Salah El-Salim, bus ini bisa berjalan lancar.
Karena melewati jalur macet, pengguna bus 80 dan 65 memerlukan waktu satu jam atau sering lebih untuk menuju ke kampus.

 TUB ROMLY

Secara administratif, Tub Romly masuk wilayah distrik El-Wahah, sebuah distrik yang tidak terkenal. Distik El-Wahah itu sendiri terletak persis di belakang distrik 10. Barangkali Tub Romly adalah perkampungan paling kampung yang berada di Kairo Timur. Tentu, setelah perkampungan Masakin Mustaqbal atau Mazbak dan kampung 4,5 (arba'ah wa nus). Beberapa tahun yang lalu Tub Romly tidak memilik terminal, karena bus 926 jurusan Tub Romly-Zamalek yang menjadi andalan mahasiswa dulunya cuma sampai di distrik El-Sifarat. Pantas saja, orang-orang dulu enggan tinggal di Tub Romly, karena aksesnya yang susah untuk berangkat ke kampus.

Namun, setelah terminal bus dipindahkan dari distrik El-Sifarat ke Tub Romly, ramai pelajar dan mahasiswa menyewa flat di Tub Romly. Kebanyakan dari mereka adalah pelajar dari negara pecahan Uni Soviet, seperti Rusia, Kazakhstan, Tajikistan, Uzbekistan, Kirgistan, dan sebagian kecil dari warga Kurdistan. Ada juga sebagain warga Malaysia dan Indonesia yang tinggal di wilayah ini.


Walaupun tempatnya di belakang, tetapi akses ke kampus Al-Azhar ternyata lebih mudah. Dengan menggunakan jasa bus 926 para pelajar bisa setiap hari ke kampus tanpa harus mampus didera macet. Dari terminal Tub Romly, bus melaju menuju distik El-Sifarat yang anti macet. Kemudian bus 926  melenggang menuju distrik 7, melewati kampus Azhar putri, distrik 6, dan sampai ke kampus II putra (fakultas Tarbiyah, fakultas Dakwah, dan fakultas Dirosah Islamiyah). Bagi yang mau menuju ke kampus I (fakultas Syariah, fakultas Ushuluddin, dan fakultas Lughoh), tinggal melanjutkan perjalanan melewati jalan Salah El-Salim, Nady Sikkah, dan berhenti turun di pertigaan Duwaiqah. Dari pertigaan ini para pelajar bisa naik angkot jurusan pasar Attaba melewati perempatan Bu'us, belok kiri menuju terminal Darrasah, lanjut ke pertigaan Kawakib, belok kiri, sampai di RS. Hussen belok kanan, dan turun pas di depan gerbang kampus. Praktis, penghuni Tub Romly tidak menemui jalur macet.

"Ini penduduk Tub Romly sekarang? luar biasa" kata seorang warga Mesir di bus 926.
Pantas saja, karena penduduk Tub Romly hampir semuanya orang asing.
Semoga para pelajar yang tinggal di Tub Romly selalu rajin ke kampus dan masjid Al-Azhar. Amin..

PESUGIHAN DI PIRAMID


Musim dingin 2012. Cuaca di Mesir sungguh tak menentu; kadang dinginnya minta ampun, kadang dingin biasa, kadang hangat, dan kadang pula agak panas. Kami bermaksud melakukan perjalanan ke salah satu situs sejarah tertua di dunia, yaitu Piramids di Giza. Salah seorang teman kami, yang katanya sedikit tahu tentang  perhitungan musim, memilih hari Rabu pahing, 8 Februari yang bertepatan dengan tanggal 1 bulan Amshir 1738 tahun Koptik. Hebat sekali, hari itu hari yang cerah dan hangat.

Setelah sekian jam menunggu beberapa teman yang barangkali sibuk mempersiapkan doa-doa perjalanan, akhirnya kami berangkat dari terminal Darrasa menuju stasiun Attaba. Dari Attaba, kami ber-tigabelas menuju Giza naik metro. Di Giza, kami turun di stasiun yang salah, karena mungkin guide kami terlalu 'khusuk berdoa' sehingga tersesat jalan. Sang guide kemudian mengajak kami ke stasiun yang benar.

Dari stasiun Giza kami naik taksi besar, satu taksi tujuh orang. Ada yang unik saat itu, ternyata kami dibawa ke sebuah kandang kuda dan onta. Kami baru sadar ternyata sopir taksi telah bersekongkol dengan si empunya onta, supaya kami naik onta menuju pyramids. Ah, pastinya kami tidak mau, karena kami ingin jalan-jalan, bukan naik onta.
Setelah adu mulut dengan pemilik onta, akhirnya kami naik microbus tua menuju gerbang pyramids. Di sana, kami langsung membeli tiket dengan harga separoh karena kami pelajar Al-Azhar, walaupun dua orang teman kami harus membayar lebih karena kartu mahasiswa mereka ketinggalan di asrama.

Masuk dengan perasaan lega, dan ber-foto ria tentunya, kami menggelar tikar dan makan bersama ala arekpondok. Digelar nasi putih dengan sayur kentang dan mendoan istimewa, kami makan bersama, tak perduli banyak mata memandang kami. Aneh, mungkin.

Setelah selesai kami mengisi ‘bahan bakar’, perjalanan kami selanjutnya menuju lokasi Spinx alias Abu al-ghaul. Di sana, bukan pemandangan zaman Fir’aun yang pertama kali kami lihat, melainkan pemandangan klenik yang aneh dan ajaib yang kami saksikan. Di depan pintu gerbang spinx terdapatlah lubang seperti sumur, kira-kira sedalam dua meter. Lubang tersebut dikelilingi pagar besi. Kami melihat ke bawah, dan, masya Allah, di sana terdapat banyak sekali uang kuno yang dilempar oleh turis-turis dari seluruh dunia. Dari sekian banyak uang kuno yang berserakan, mata kami terbelalak melihat pecahan uang Rp.100bergambar perahu! Uang Indonesia. Salah seorang di antara kami justru berfikir, barangkalai sumur tersebut bisa menjadi wasilah untuk mempermudah jodoh, dengan melempar surat cinta  ke dalamnya. Kami kira, itulah sumur pesugihan Piramids, yang dipercaya konon katanya bisa melipat gandakan rizki. Sumur ini barangkali lebih bertuah dari gunung Srandil, lebih angker dari gunung Kemukus, dan lebih ampuh dari gua Karangbolong pantai selatan. Selamat tidak mencoba. Wallahu a’lam.


Tub Romly, kampung kecil di pinggiran Kairo


El-Tub El-Ramly, yang oleh warga Indonesia di Kairo disebut dengan Tub Romly, adalah sebuah wilayah kecil yang terletak di pinggiran  kota Kairo, tepatnya di distrik 10, Nasr City, Kairo, Mesir. Mantiqoh padang pasir ini berbatasan dengan Swessry A dan Swessry B di sebelah utara, dengan Saqor Qurays di sebelah timur, dan dengan New Nasr City di sebelah barat dan selatan.

Wilayah Tub Ramly dibagi menjadi empat bagian; utara, selatan, tengah, dan barat.
Tub Ramly bagian utara adalah ‘markas besar’ warga Malaysia, karena di sana terdapat beberapa rumah negeri (asrama) yang menampung sekitar seribu pelajar Malaysia, lengkap dengan sarana olahraga, kantin, dan mushola. Hanya ada dua sa’ah (rumah) yang dihuni warga Indonesia, dan selebihnya adalah warga Mesir.
Tub Romly bagian selatan dihuni oleh orang Mesir gunung (jabal), dan merupakan “markas” (maaf) buronan polisi. Meski begitu, ada juga beberapa warga Indonesia yang tinggal di sana.
Adapun Tub Romly bagian tengah adalah ‘markas’ warga Rusia dan negara pecahan Uni Soviet. Warga Malaysia juga lumayan banyak di wilayah itu, meskipun tidak sebanyak di bagian utara. Selain itu, terdapat juga beberapa rumah warga Indonesia, Prancis, Inggris, dan Swedia.
Sebagian besar penduduk Tub Romly bagian barat adalah warga pribumi. Warga asing di sana adalah orang Thailand dan segelintir warga Indonesia.

Seperti wilayah-wilayah lain di Kairo, Tub Romly juga dilengkapi dengan fasilitas umum. Terdapat empat masjid yang tersebar di bagian selatan, tengah, dan barat. Adapun penduduk wilayah bagian utara, mereka satu masjid dengan penduduk bagian tengah. Terdapat juga dua mahattah akhir (terminal); satu mahattah bus besar, yaitu yang masyhur dengan bus nomor 926 jurusan El-Tahrir via Ma’had buuts, dan bus nomor 710 jurusan Ramsis. Mahattah satu lagi adalah mahattah bus tanggung-di Indonesia mungkin sejenis bus ¾- yaitu yang masyhur dengan bus nomor 1 jurusan Ramsis dan bus nomor 13 jurusan Heliopolis.

Warga Indonesia adalah minoritas di wilayah Tub Romly, karena menurut mereka, wilayah yang padang pasirnya masih luas itu dikenal sebagai ‘kampung angker’. Hal itu bisa dimengerti, karena letaknya yang berada lumayan jauh dari keramaian, sepi, dekat padang pasir, menjadi tempat persembunyian residivis, dan isu-isu yang lain. Namun bisa jadi, lima atau sepuluh tahun lagi, wilayah yang terkenal dengan jabal mazbaknya ini akan menjadi kota ramai, terbukti dengan berdirinya perumahan City Tower yang sudah dalam tahap finishing, dan pembangunan Bank Mesir dalam tahap pondasi.


Kamu belum cukup umur, nak !




Al-Azhar, selain tidak memungut biaya kuliah, juga memberikan minhah (beasiswa) kepada mahasiswanya yang berprestasi. Minimal predikat maqbul , insya Allah bisa mendapatkan biaya hidup untuk menunjang kelancaran tholabul ilmi. Satu tingkat di atas maqbul, yaitu jayyid, para mahasiswa bisa mengajukan minhah ke Al-Azhar, atau ke Bait Zakat Kuwait. Bait Zakat ini oleh sebagian mereka lebih disukai karena nominalnya lebih besar. Namun, jika sudah mendapatkan minhah dari Al-Azhar, mereka tidak bisa mengajukan minhah ke Bait Zakat, begitu juga sebaliknya.

Mulai tahun ini, tahun 2011, baik Al-Azhar maupun Bait Zakat bermaksud mempermudah administrasinya. Sebelumnya, pengambilan minhah dilakukan secara manual, harus ngantri panjang, dan kadang-kadang uangnya habis sebelum selesai pembagian. Jika sudah seperti itu, terpaksa para penerima minhah harus menunggu hari berikutnya. Supaya lebih mudah, sekarang pengambilan minhah bisa dilakukan lewat ATM. Tidak bosan ngantri, dan tidak takut kehabisan uang.

*****
Suatu hari, beberapa mahasiswa asal Indonesia mengajukan pembuatan ATM di bank yang telah ditunjuk oleh Bait Zakat. Dua orang dari mereka adalah teman akrab, yang dulunya satu almamater di sebuah pesantren di Indonesia. Sekolah bareng, berangkat ke Mesir bareng, dan mendapatkan predikat jayyid bareng. Meski selalu bersama, ternyata si A lebih tua dari si B. Si A lahir tahun 1990, sementara si B setahun lebih muda dari si A.

Berbeda dengan bank-bank di Indonesia, bank di Mesir, dalam hal ini Bank Faisal, mensyaratkan umur 21 tahun bagi para nasabahnya. Saat giliran si A menuju teller, petugas bank hampir saja menolak permohonannya, karena wajahnya yang imut-imut seperti anak 17 tahunan. Apalagi, wajah Asia terkesan awet muda jika dibandingkan dengan wajah Arab. Mungkin si petugas bank mengira si A masih berumur 9 atau 12 tahun. Si A yang merasa ditolak langsung saja protes, bersikukuh bahwa dia sudah cukup umur, karena memang usianya genap 21 tahun. Setelah sebentar adu mulut, akhirnya si A meminta petugas bank untuk meneliti dokumennya. Setelah melihat paspor si A, petugas baru percaya, dan mengabulkan permohonan si A. sukses buat si A, ATM telah di tangannya.

Lain lagi dengan si B. Petugas bank hampir saja mengabulkan permohonannya, dan membuatkan kartu ATM untuknya. Pantas saja, karena penampilannya mirip kyai sepuh, tak pernah lepas peci dan baju koko. Ditambah jidatnya yang agak hitam karena (mungkin) rajin sujud dan jenggotnya yang lumayan panjang, siapapun tak mengira jika umurnya baru 20 tahun. Hampir saja permohonannya dikabulkan, tapi tiba-tiba mata petugas bank menangkap tanggal lahir si B, ternyata si B belum genap 21 tahun..
Alamak..!!

3 IN 1


Sampai saat ini, Mesir masih menjadi negara tujuan pelajar muslim dari seluruh penjuru dunia, tak terkecuali pelajar dari Indonesia. Sejak pertengahan abad ke-19, pelajar dari Indonesia yang dikenal dengan ruwaq Jawi berbondong-bondong memasuki Mesir, dengan tujuan utama untuk belajar di universitas Al-Azhar. Selain kuliah resmi, di universitas yang berdiri sejak tahun 972 M ini juga terdapat pengajian umum yang bertempat di masjid Al-Azhar. Pengajian ini bisa diikuti oleh semua kalangan, baik kalangan mahasiswa maupun masyarakat biasa. Bukan hanya itu, terdapat juga pengajian di luar Al-Azhar, seperti di Darul Ifta, Madyafah, Mukattam, dan tempat-tempat lain.

Selain menjadi sumber ilmu pengetahuan Islam, Mesir juga merupakan negeri yang kaya akan peninggalan sejarah, yang biasa dikunjungi oleh turis asing. Negeri Firaun ini terkenal dengan piramidnya, mulai dari pyramids Cheops, Chevren, dan Menkaura, juga Spinx yang melambangkan kejayaan masa lalunya. Bagi seorang muslim yang ingin mengenang kejayaan Islam di Mesir, dia bisa mengunjungi masjid Amr bin Ash, masjid Ahmad Ibn Tulun, benteng Shalahudin Al-Ayyubi, dan peninggalan Islam lain. Para peziarah makam auliya juga bisa khusuk berdoa di makam Sayyidina Husen bin Ali, makam Imam Syafii, makam Sayyidah Zainab, dan makam auliya lain yang tak terhitung jumlahnya. Ummat Kristen pun bisa berwisata religi di Mesir, dengan mengunjungi gereja Al-Mu’allaqa, gereja Virgin, gereja Katedral Santa Marc, dan museum koptik. Ini baru di Kairo, belum lagi di Alexandria dan daerah lainnya.

Mesir memang negara tujuan pelajar muslim, juga turis internasional. Tapi Mesir bukanlah negara kaya, terbukti dengan jumlah pengangguran yang cukup tinggi, yaitu 12 persen dari angkatan kerja. Fasilitas umum, seperti terminal, stasiun, dan pasar masih terlihat kumuh dan kotor. Dan, tidak sedikit anak di bawah umur yang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhannya, karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Mungkin karena itulah, pemerintah Indonesia tidak mengirimkan TKI ke Mesir.



Calon mahasiswa Al-Azhar dari Indonesia ada yang ‘ala minhah (mendapat beasiswa, dan langsung tinggal di asrama) dan ada yang non minhah. Bagi camaba ala minhah, semua kebutuhannya sudah ada yang mengurus, dan nantinya langsung tinggal di asrama. Tapi bagi yang non minhah, camaba mengurus sendiri segala keperluannya, mulai dari tiket pesawat, visa, sampai kos-kosan di Mesir.

Perlu waktu agak lama dan harus bersabar untuk mendapatkan visa pelajar dari kedutaan Mesir di Jakarta. Sebagian mahasiswa baru dari Indonesia, mungkin sebagian besar, berangkat ke Mesir dengan visa turis. Itu dilakukan karena mereka khawatir tertinggal mengikuti test masuk Al-Azhar, yang kalau sampai ketinggalan, mereka harus menanti test masuk pada tahun ajaran berikutnya. Mereka berani melakukan itu, dengan harapan setelah diterima di Al-Azhar nanti bisa mendapatkan visa pelajar dari kantor imigrasi Mesir.

Al-Azhar tidak memungut biaya pendidikan kepada mahasiswanya. Namun, bagi mahasiswa yang non minhah, mereka masih mengandalkan kiriman dari keluarga. Kalau tidak, kebanyakan mereka akan bekerja. Karena begitu banyak mahasiswa Indonesia di Mesir, mencari ekonomi di sana menjadi relatif mudah. Prinsipnya, dari mahasiswa untuk mahasiswa. Beragam pekerjaan dilakukan, mulai dari jualan tempe, bekerja di warung Indonesia, sampai agen tiket dan pengiriman barang ke Indonesia.

Tentu, mahasiswa Indonesia di Mesir berusaha untuk membagi waktunya, antara belajar dan bekerja. Selain itu, mereka juga menyempatkan diri untuk jalan-jalan menikmati pariwisata negeri Firaun ini. Dan, dengan menunjukkan kartu mahasiswa, mereka akan mendapat tiket khusus yang lebih murah. Seorang mahasiswa Al-azhar pernah menulis di status Facebooknya: [ketika aku ditanya, “Kamu ini mahasiswa, turis, atau TKI?” saya akan menjawab, “Dibilang mahasiswa, ya aku memang mahasiswa, karena aku kuliah di Al-Azhar. Dibilang turis, aku juga sering jalan-jalan ke tempat wisata. Disebut TKI juga boleh, karena aku memang bekerja untuk membiayai hidupku.”]

MAZBAK DAN BOKONG SEMAR


Syaikh ‘Amr al-Wardany, salah seorang  guru besar Al-Azhar, pernah berkunjung ke Indonesia. Beliau begitu takjub dengan keindahan negeri 'penggalan syurga’. Dari atas pesawat, Syaikh ‘Amr terkesima melihat daratan Indonesia yang hijau seperti karpet. Beliau juga heran di tengah kota terdapat pohon tebu yang tumbuh dengan suburnya. Ketika beliau menginap di sebuah hotel di Jakarta, ada ‘hawa aneh’ yang beliau rasakan, yaitu sumuk (terasa panas, Jawa), padahal di luar hotel hujan turun lebat. Itulah Indonesia, negara yang sama sekali berbeda dengan negeri asal beliau, Mesir.

Alam Indonesia memang berbeda dengan Mesir; Indonesia hijau, Mesir gersang. Namun, keduanya sama memiliki banyak gunung yang kokoh menjulang tinggi, yang merupakan tiang penjaga bumi yang alami. Kebanyakan nama gunung di Indonesia terkesan angker dan sangar. Sebut saja Merapi, Merbabu, Krakatau, Bromo, dan lain sebagainya. Tapi tidak semuanya begitu, ada gunung yang terkesan sopan dan ramah, yaitu gunung Slamet di Purwokerto. Ada juga yang terkesan unik dan lucu, yaitu gunung Bokong Semar.

Gunung Bokong Semar memang kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia. Jangankan oleh masyarakat nusantara, orang Jawa Tengah pun belum tentu tahu di mana Bokong Semar berdiri. Bokong Semar berdiri di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Gunung unik ini dapat dilihat dengan jelas dari sebuah desa yang hijau royo-royo, asri, dan agamis, yaitu desa Bulaksari, kecamatan Bantarsari, Kabupaten Cilacap. Kata para orang tua, gunung ini disebut demikian karena bentuknya yang unik menyerupai bokong kyai Semar.  

Mesir, dengan tanah tandus dan gurunnya, juga memiliki gunung. Sebut saja Gunung Sinai yang terkenal, karena menjadi tempat munajat Nabi Musa as., juga karena pernah menjadi rebutan Mesir dan Israel. Ada juga gunung (jabal) Muqotom, gunung yang dulu diambil tanahnya oleh Jendral Salahudin Al-ayubi  untuk membuat benteng pertahanan di zaman perang salib.


Semua orang mungkin mengenal Sinai, juga Muqotom. Tapi tidak semua orang Mesir, apalagi orang Indonesia mengenal jabal Mazbak, sebuah gunung yang unik, yang berdiri kokoh di Nasr City, Kairo. Jabal Mazbak sejatinya adalah gunung buatan, yang merupakan tumpukan puing-puing bangunan. Setiap harinya truk-truk besar membuang reruntuhan bangunan dari seluruh penjuru Kairo, menambah kokoh dan tingginya jabal Mazbak. Tepatnya, jabal Mazbak berdiri di mantiqoh Al-tub al-ramly, sekitar 2 km dari Suq Sayarat Hay Asyir (Distrik 10). Jabal Mazbak memang tidak seangkuh Sinai maupun Muqotom, tapi tidak kalah tingginya dari gunung Bokong Semar.


Masisir Punya Istilah


Bagi sebagian masyarakat Indonesia, Mesir adalah negeri impian. Mesir dengan segala yang dimilikinya; Al-Azhar, piramid, spinx, dan warisan leluhur lain, menarik simpati untuk didatangi dan dinikmati. WNI di Mesir begitu banyaknya, sampai ada yang mengatakan bahwa Mesir, khususnya Kairo adalah ‘propinsi jauh’ wilayah NKRI. Warga Indonesia di Mesir yang sebagian besar adalah pelajar itu, begitu menyatu dengan masyarakat lokal, dan menyebut dirinya sebagai Masisir. Mereka telah ‘berani’ membuat istilah-istilah sendiri, dan bahkan ‘membagi’ wilayah Kairo dengan apa yang mereka pahami. Ini unik, karena istilah-istilah tersebut hanya bisa dipahami oleh sesama masisir, dan tentu, oleh sebagian warga Mesir yang memang sudah ‘gaul’ dengan mereka. Karenanya, tidak heran jika sebagian besar penduduk lokal kurang ‘mudeng’ dengan istilah yang dipakai masisir.

Sebelum masuk bangku kuliah, mahasiswa baru dari luar Mesir (wafidin) harus mengikuti test masuk kuliah, yang disebut imtihan al-qobul. Jika lulus, mereka bisa langsung kuliah. Tapi jika tidak lulus, mereka  harus mengikuti program belajar bahasa Arab di Kulliyah Al-Ulum Al-Islamiyah selama setahun. Namun, masisir menyebutnya dengan Daurah Lughoh atau Dar Al-Lughoh. Pantas saja kalau masisir mengatakan ‘dar al-lughoh’ kepada pengajar al-Azhar, mereka akan ditanya, “darul lughoh fein” (darul lughoh dimana?)

Setelah setahun mengikuti kuliah, para mahasiswa mendapatkan natijah (hasil imtihan). Ada istilah najah(lulus), dan ada istilah rasib (tidak lulus lebih dari dua mapel). Kalau tidak lulus satu mapel disebut manqul bimaddah, yang oleh masisir disebut manqul saja . Tidak lulus dua mapel disebut manqul bi maddatain,yang oleh masisir disebut manqulain.

Di Mesir, rumah penduduk sama sekali berbeda dengan rumah di Indonesia. Bangunannya berbentuk kubus (kotak), yang kebanyakan terdiri dari lima lantai. Satu bangunan, dari lantai dasar sampai atap, disebutimarah. Di setiap lantai ada beberapa rumah, yang oleh orang Mesir disebut sa’ah. Menurut orang Indonesia, sa’ah yang berada di lantai dasar disebut rumah ardiyah. Padahal, orang Mesir menyebutnya dengan darul ardlSa’ah paling atas oleh orang Indonesia disebut suthuh. Padahal orang mesir menyebutnya dengan daurah khomisah (lantai ke-lima). Suthuh menurut orang Mesir adalah atapnya, bukansa’ahnya.

Kebanyakan masisir tinggal di Hay Asyir (distrik 10), Nasr City, Kairo. Maka tidak heran, di sana banyak dijumpai warung makan Indonesia, juga toko-toko Mesir dengan tulisan tiga bahasa di pintu masuknya; maftuh, buka, open. Di salah satu sudut Hay Asyir terdapat sebuah masjid jami'/gami’, yaitu masjidAssalam, yang terletak di jalur utama Hay Sabi’- Hay Asyir. Setelah masjid, ada gate-gate/gang, yang disebut bawabah. Ada bawabah ulabawabah tsaniah, dan bawabah tsalitsahBawabah ini berakhir di suq sayarat (pasar mobil). Yang disebut bawabah oleh orang Mesir adalah bagian depannya saja. Adapun keseluruhan wilayah bawabah sampai ke belakang, yang berbatasan dengan mantiqoh al-Tub al-ramly, disebut mantiqoh Swessry A. Namun oleh masisir wilayah Swessry A disebut dengan daerah Bawabahsaja.

Setelah suq sayarat ada sebuah halte yang disebut mahattah gamik. Tidak jauh dari mahattah gamik ada pertigaan yang disebut mutsallatsts. Wilayah yang membentang dari mahattah gamik sampai mutsallatstshingga ke belakang, yang berbatasan dengan mantiqoh Saqor Quraisy oleh orang Mesir disebut Swessry B. Namun, oleh masisir disebut dengan Gamik saja.

Ada lagi yang unik. Di Gamik belakang (istilah orang Indonesia) terdapat sebuah toko yang dijaga oleh seorang ibu dan dua orang putrinya, yang tentunya cantik-cantik. Toko tersebut memang berbeda dari yang lain, buka paling akhir dan tutup paling akhir pula. Entah kenapa, dan masih dicari penyebabnya, toko tersebut oleh sebagian masisir dikenal sebagai ‘warunge mbok rondo’.

Itulah orang Indonesia, selalu kreatif di setiap tempat. Ditunggu cerita dari warga Indonesia di tempat lain.



Senin, 25 Februari 2013

Kambing-kambing kurban (part 2)


Semakin mendekati Iedul Adha, lapak-lapak eceran kambing semakin banyak. Semakin mendekati Iedul Adha ternyata Kairo semakin dingin. Tentu kebayang bagaimana rasanya berkumul dengan kambing-kambing kurban itu, pasti sangat hangat sekali.
Penjaga calon kambing-kambing kurban sepertinya sudah seperti kambing-kambing kurban itu. Walaupun rambut-rambut penjaga tidak se
tebal rambut kambing-kambing kurban, tapi mereka bisa tidur di samping lapak dengan nikmatnya, hanya beralaskan tikar tipis, dan berselimut sekadarnya.


Calon kambing-kambing kurban adalah harta yang wajib dijaga. Para penjaga kambing-kambing kurban itu harus sholat sambil menjaga. Cukup dengan menggelar apapun yang bisa digelar, para penjaga kambing-kambing kurban bisa sholat dengan khusuknya di samping lapak. Mereka tidak peduli ada cewek cantik dan seksi lewat, tidak peduli juga ada lalu lalang mobil mewah di depan mereka. Mereka tetap sholat dengan khusuknya.
Pemandangan para penjaga kambing tentunya berbeda dengan para pedagang yang sholeh di negeri kita yang kaya raya itu. Kala adzan berkumandang, para pedagang yang sholeh di negeri kita menutup lapak dan tokonya, untuk sholat berjamaah. Tentu ada alasan yang kuat mengapa para penjaga kambing-kambing kurban itu tidak sholat berjamaah di mesjid, barangkali karena mereka yakin jika menjaga harta demi menafkahi keluarga juga berpahala besar.
#Coretan ini ditulis menjelang Iedul Adha 1434, di Kairo, Mesir

Kambing-kambing kurban (part 1)


Coba bandingkan dengan kambing-kambing di negeri kita yang kaya raya itu, kambingnya usil dan teriak-teriak tanpa henti, rewel dan sering nyerudug, dan pasti lehernya ditali kekang. Kalau tidak, niscaya kambing-kambing kurban itu akan lari dan lepas liar entah kemana.


Ya ! setelah membuka memori indah bergembala ria di kampung dulu, dan melihat hasil jalan-jalan di Kairo selama dua tahun terakhir ini, akhirnya saya bisa melihat, menimbang, dan memutuskan: Ternyata kambing-kambing kurban di Mesir tak akan pernah mau lari dari kandangnya, dan nanti dengan sukarela akan dikorbankan, karena di luar kandang tak ada bahan yang bisa dimakan oleh mereka. Di luar kandang hanya ada ratusan bahkan ribuan hektar tanah tandus tanpa tanaman. Tapi di negara kita yang kaya itu, kambing-kambing selalu ingin bebas, karena jatah makan di dalam kandang jauh lebih sedikit dibanding rumput bebas yang terhampar luas.

#Coretan ini ditulis menjelang Iedul Adha 1434, di Kairo, Mesir

CARILAH REJEKI SEPERTI ORANG CHINA


Toko-toko di Mesir mulai buka sekitar jam 10 siang. Persisnya aku tidak tahu, apakah pemilik toko-toko itu tidur pagi, beribadah pagi, atau kumpul bareng keluarga di waktu pagi. Pastinya kalau butuh sesuatu di pagi hari ya harus sabar untuk sedikit menunggu agar tidak terlalu pagi.

Warung-warung milik orang Asia (Indonesia, Malaysia, dan Thailand) kebanyakan buka selepas Dhuhur, atau bahkan ada yang buka setelah Ashar. Itu maklum, karena pemilik dan karyawannnya kebanyakan adalah mahasiswa yang kuliah di waktu pagi, atau mahasiswa yang sedang tidak ada jadwal kuliah tapi malamnya lembur kegiatan, sehingga harus tidur pagi, atau yang malamnya adalah ibadah, dan atau sekedar melepas kegalauan sehingga layak untuk tidur pagi.

Satu toko tahu milik warga China di komplek perumahan Swesry B, Distrik 10, Kairo Timur, tak pernah buka tidak pagi, selalu pagi. Pukul 7 pagi tahu sudah siap diorder ke seluruh wilayah Kairo. Mereka memang bukan mahasiswa, jadi tidak ada jadwal kuliah. Apakah mereka tidak beribadah pagi atau kumpul keluarga di waktu pagi aku tidak tahu, yang jelas mereka selalu bangun pagi dan semangat dalam bekerja, dan sebagian dari mereka adalah berjilbab.Jika benar tidak bangun pagi "rejekinya dipatok ayam", maka sudah jelas yang matok rejeki adalah orang-orang China itu.

"Carilah pengalaman sampai kepada orang-orang China"


Sabtu, 23 Februari 2013

ALUMNI AL-AZHAR DAN WARUNG MAKAN



Seorang pengamat Masisir (Masyarakat Indonesia di Mesir) mengatakan, jumlah mat'am atau warung makan Indonesia di Kairo kurang lebih berjumlah 40 warung. Jumlah itu pasang surut, satu warung lesu, sepuluh yang lain tumbuh baru. Hanya ada beberapa yang eksis dan bertahan melayani selera warga Indonesia di Kairo.


Ada yang menarik dari warung-warung itu, biasanya laris manis selama beberapa bulan 
 saja, atau mungkin sampai genap setahun. Maklum, makanan nusantara di Kairo terasa sangat istimewa. Ketika ada warung baru berdiri, sontak saja WNI di Kairo yang kebanyakan adalah mahasiswa pas-pasan berduyun-duyun untuk sekedar mencicipi diskon dan menu yang tersedia. Jika rasa dah harganya pas di lidah dan di saku, pelanggan akan istiqomah dan setia kepada warung-warung itu. Namun jika dirasa ada yang kurang, ya jelas saja mereka akan mencari warung lain. Satu lesu, sepuluh tumbuh baru, begitu seterusnya menghiasi roda ekonomi Masisir.

Setiap tahunnya, ratusan sarjana lulusan Al-Azhar pulang kampung dan turun gunung ke tanah air. Sambutan masyarakat di sana biasanya gegap gempita, menyambut sang penyandang gelar keagamaan dari universitas tertua di dunia. Kontan saja, mereka, para lulusan Azhar itu diundang ke berbagai acara; seminar keagamaan, pengajian umum, doa bersama, atau sekedar obrolan santai kelompok-kelompok kecil di langgar-langgar doyong. Masyarakat tentu ingin mencicipi resep ilmu baru dari sarjana-sarjana itu, jika mumpuni dan kontekstual ya dilanjutkan, tapi kalau cetek atau terlalu baru dan bahkan aneh, ya mereka mencari dai-dai yang lain saja. Toh yang berilmu bukan dari Mesir saja. Masyarakat kita sudah lebih cerdas dalam memilih apa yang menjadi kebutuhan mereka.

Bagaimana dengan warung makan kita, dan kwalitas sarjana kita? semoga bukan sekedar lahan cicipan dan jajalan saja.